Jangan Lupakan Bekal untuk Akhirat
January 14, 2015
Masjid di kompleks kami punya seorang tenaga kerja harian, pak Sarip namanya. Beliau penduduk kampung sebelah yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sampah. Masjid lalu mengupah pak Sarip untuk membersihkan kamar mandi, tempat wudhu dan jalanan disekitar diluar jam kerjanya sebagai tukang sampah, biasanya beliau hadir setiap maghrib dan shubuh.
Hampir setiap datang untuk shubuh saya selalu bertemu dengan pak Sarip yang sedang mengepel lantai teras, menyapu jalanan, membersihkan kamar mandi dan tempat wudhu. Namun selain itu beliau adalah jamaah yang rajin, selalu ikut shalat berjamaah. Hebatnya masih sempat berganti baju yang rapi, lengkap dengan kopiah dan sarung. Setiap pengajian dan ceramah pak Sarip juga hadir, kadang-kadang ikut mengajukan pertanyaan dengan bahasa yang sering mengundang tawa, jauh dari kedalaman intelektual. Tidak jarang pula ketika tiba saatnya waktu shalat dan kebetulan tidak ada orang yang adzan, pak Sarip-lah yang melantunkan adzan, dan lagi-lagi dengan lafadz yang tidak begitu sempurna.
Tidak sulit untuk membaca keadilan Allah dalam urusan ini. Seandainya surga disediakan hanya untuk orang beriman yang pintar, banyak membaca buku, ilmu yang dalam, menguasai bahasa Arab, punya banyak referensi kitab para mufassir, tidak lupa dilengkapi dengan kajian orientalis, maka tidak ada tempat buat pak Sarip di surga. Namun surga disediakan bagi orang yang bertaqwa, dengan tingkat dan kemampuan berpikirnya masing-masing bisa merasakan takut dan tunduk kepada Allah, lalu mengerjakan semua perintah dan menghindari semua larangan atas dasar rasa takut dan tunduk tersebut. Surga disediakan buat orang yang punya koneksi dengan Allah sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia." (al-Anfaal 2-4)
Sebaliknya banyak kita temukan manusia yang justru dengan ilmu yang dimiliki malah ‘petantang-petenteng’, menganggap dirinya punya ilmu yang cukup untuk ‘mensortir’ ketetapan-ketetapan Allah, mana yang dipakai dan mana yang harus dibuang. Ilmu pengetahuan yang dimiliki justru menghasilkan sikap yang berlawanan dari yang seharusnya.
Diwaktu shalat dhuhur dan ‘ashar, saya juga sering bertemu dengan tukang baso, tukang odong-odong, siomay, sopir taksi, yang kelihatannya memang sengaja mencocokan jalur kelilingnya untuk tepat berada disekitar masjid ketika waktu shalat sudah datang. Merekalah yang menjadi jamaah kami, memenuhi shaf untuk shalat wajib tersebut. Ini kelihatannya sudah menjadi sesuatu hal yang rutin bagi mereka karena saya sampai hapal orangnya, sering bertemu dan kadang bertegur-sapa.
Bagi orang-orang ini, mencari nafkah selalu disinkronkan dengan menunaikan kewajiban ibadah, tidak ada yang salah satunya harus dikorbankan. Sebenarnya banyak alasan yang bisa dikemukakan oleh mereka untuk tidak melakukan shalat tepat waktu berjamaah di masjid, seperti juga banyak alasan yang bisa dikemukakan oleh semua orang, namun ternyata itu tidak dilakukan. Sulit juga untuk menemukan motivasi lain mengapa mereka melakukan hal ini dengan konsisten, kecuali hanya karena adanya ketundukan dan kepatuhan kepada Allah.
Bagaimana dengan Anda sendiri..? Berapa kali Anda mengorbankan shalat wajib tepat waktu dan berjamaah di masjid atau musholla disekitar Anda karena merasa tanggung meeting Anda belum selesai..? Berapa kali Anda memutuskan untuk shalat dirumah saja karena masing ‘menggantung’ mengetik tulisan, khawatir inspirasi yang sudah terkumpul dalam kepala bakalan lenyap.
Mungkin secara lahiriah, kita berpenampilan mentereng, berpakaian rapi lengkap dengan jas dan dasi, punya harta kekayaan yang cukup, sehingga membuat orang-orang ‘minder’ ketika berdekatan dengan kita, namun dibandingkan dengan tukang odong-odong dan tukang siomay yang saya sebutkan, nilai kita sebenarnya tidak ada apa-apanya. Kemakmuran dan kesejahteraan yang kita miliki malah membuat kita ‘petentang-petenteng’ dihadapan Allah, tidak membuat kita tunduk dan patuh, tidak berusaha mensinkronkan kegiatan sehari-hari dengan kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Bagi orang seperti ini, Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an :
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (Hud 15-16)
Anda mencari kemahsyuran dunia..? Tentu saja Allah akan mengabulkan keinginan Anda tersebut. Anda berkerja mati-matian untuk mempesonakan orang lain..? Tentu saja itu akan Anda dapatkan karena memang banyak manusia yang mempunyai pikiran seperti Anda. Apa yang anda banggakan memang itu yang selama ini mereka dambakan. Al-Qur’an jelas menyatakan ‘Kami berikan balasan pekerjaan mereka di dunia DENGAN SEMPURNA’, kemahsyuran dan kesejahteraan Anda dapatkan, pengakuan dari manusia lainpun akan diperoleh, kurang apalagi..?
Namun Allah mengingatkan, kalau tujuan kita hanya sebatas dunia saja, maka sebatas itu pula kenikmatan tersebut akan didapat, selebihnya semuanya akan lenyap. Kemahsyuran dan kesejahteraan akan berhenti saat dunia sudah lenyap, kekaguman orang lainpun juga hilang tidak berbekas. Setelah itu giliran tukang odong-odong dan tukang siomay yang akan mendapatkannya. Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud mengajak Anda untuk berpindah profesi menjadi tukang odong-odong atau tukang becak, sopir taksi, tukang baso, agar bisa kelak masuk surga. Pelajaran yang bisa kita ambil dari mereka adalah, apapun pekerjaan dan kegiatan yang kita lakukan, selalu dicantelkan dengan aspek ukhrawinya, dalam satu kegiatan selalu mengandung 2 dimensi, dunia dan akhirat. Bahkan untuk urusan dunia yang tidak bakalan dihitung diakhirat malah tidak perlu digubris, semacam pengharapan akan adanya pengakuan dan kekaguman orang lain, itu sama sekali tidak berguna.
Rasulullah bahkan menyatakan orang yang mampu menggabungkan kedua hal ini sebagai umatnya yang cerdas:
Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Suatu hari aku duduk bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paling baik akhlaqnya’. Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paling cerdas.’ (HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy. Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah 2/419 berkata : hadits hasan)
Mengingat semua pelajaran ini, ketika saya bersalaman dengan pak Sarip selesai shalat shubuh bersama-sama, saya membungkukkan diri dalam-dalam, menyatakan pengakuan bahwa dia jauh lebih mulia dari saya...